RUKUN IJMA’ dalam Ushul Fikih

Ijma’, atau kesepakatan para mujtahid dalam menetapkan hukum syariat, merupakan salah satu sumber hukum Islam yang diakui setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Untuk memahami pentingnya konsep Ijma ini dengan baik dan komprehensif, kita perlu mengetahui rukun-rukun ijma’ yang menjadi dasar keabsahannya. Artikel ini membahas rukun-rukun ijma’ secara ilmiah dengan bahasa yang mudah dipahami.

RUKUN IJMA’

Para ulama ushul fikih berbeda pendapat dalam menentukan rukun ijma’. Secara umum, rukun-rukun ini meliputi pelaku ijma’ (mujtahid), kesepakatan (ijma’ itu sendiri), dan objek kesepakatan (masalah yang disepakati). Penjelasannya sebagai berikut:

1. Mujtahid Sebagai Pelaku Ijma’

Mujtahid adalah ulama yang memiliki kemampuan mendalam untuk menggali hukum syariat dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.

  • Siapa yang termasuk mujtahid?
    Menurut Imam Ghazali, mujtahid adalah setiap ulama yang dapat dipercaya fatwanya (ahlul fatwa) dan memiliki kapasitas untuk memutuskan perkara (ahlul halli wal ‘aqdi).
  • Mengapa hanya mujtahid?
    Kesepakatan orang awam atau ulama yang tidak memenuhi syarat ijtihad tidak dianggap sebagai ijma’. Hal ini karena ijma’ memerlukan keahlian dalam memahami nash syariat dan mengistinbatkan hukum darinya.

Pentingnya mujtahid dalam ijma’:
Tanpa mujtahid, ijma’ tidak bisa terbentuk. Mereka adalah pemegang otoritas ilmiah yang memastikan keputusan yang diambil memiliki dasar hukum yang kuat.

2. Kesepakatan atau Ijma’ Itu Sendiri

Apa yang dimaksud dengan kesepakatan?
Kesepakatan adalah persetujuan para mujtahid terhadap suatu hukum syariat tertentu pada suatu masa. Kesepakatan ini bisa berupa:

  • Pernyataan eksplisit (al-‘azimah): Semua mujtahid sepakat secara langsung, baik melalui ucapan maupun tindakan.
  • Pernyataan implisit (ar-rukhsah): Beberapa mujtahid mengemukakan pendapat, sementara yang lain diam setelah mempertimbangkan pendapat tersebut.

Mengapa kesepakatan menjadi rukun utama?
Ijma’ tidak mungkin terjadi tanpa adanya kesepakatan di antara mujtahid. Kesepakatan ini mencerminkan keharmonisan dalam memahami hukum syariat, sehingga menghasilkan hukum yang mengikat seluruh umat Islam.


3. Masalah yang Disepakati (Objek Ijma’)

Masalah yang menjadi objek ijma’ harus jelas, baik bentuknya maupun ruang lingkupnya.

  • Apa saja masalah yang bisa menjadi objek ijma’?
    Ijma’ hanya berlaku pada masalah-masalah syariat, seperti hukum ibadah, muamalah, dan jinayah. Masalah duniawi seperti teknologi atau seni tidak termasuk dalam cakupan ijma’.
  • Mengapa objek ijma’ penting?
    Tanpa objek yang jelas, ijma’ tidak akan memiliki batasan dan tidak dapat diterapkan dengan baik dalam kehidupan umat Islam.

Rukun-rukun ijma’ memberikan landasan kokoh bagi keabsahan ijma’ sebagai sumber hukum Islam. Mujtahid, kesepakatan, dan objek yang disepakati adalah tiga elemen utama yang saling melengkapi. Pemahaman yang mendalam terhadap rukun-rukun ini penting bagi siapa saja yang ingin mendalami ilmu ushul fikih, karena ijma’ bukan hanya konsep teoritis, tetapi juga memiliki peran besar dalam menjaga kesatuan hukum Islam dan stabilitas syariat di tengah umat.