Transisi Ijma’ نَقلُ الإجماعِ

Dalam kajian ushul fikih, ijma’ (konsensus para ulama) adalah salah satu dalil syar’i yang memiliki kekuatan hukum yang tinggi setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu persoalan penting dalam pembahasan ijma’ adalah bagaimana cara ijma’ suatu generasi disampaikan kepada generasi berikutnya. Penyampaian ini bisa dilakukan melalui dua metode utama, yaitu jalan mutawatir dan jalan ahad.

Penyampaian Ijma’ Secara Mutawatir

Mutawatir adalah jalur penyampaian yang melibatkan begitu banyak orang sehingga mustahil terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbohong. Penyampaian ijma’ secara mutawatir dianggap sah dan mungkin terjadi, bahkan sering ditemukan dalam tradisi keilmuan Islam.

Argumen Kemungkinan Mutawatir

Ijma’ dapat disampaikan secara mutawatir dengan melihat pengalaman historis umat Islam yang menunjukkan adanya transmisi ilmu secara luas dan merata. Contohnya:

  • Jumlah rakaat dalam shalat dan jumlah shalat wajib lima waktu adalah hasil ijma’ yang disampaikan dari generasi ke generasi melalui jalur mutawatir.
  • Konsensus dalam banyak hukum fikih, seperti kewajiban puasa Ramadan atau keharaman riba, juga sampai kepada kita secara mutawatir.

Karena itu, menolak kemungkinan penyampaian ijma’ secara mutawatir bertentangan dengan realitas historis yang menunjukkan bahwa umat Islam mampu mentransmisikan konsensus hukum secara luas.

Penyampaian Ijma’ Secara Ahad

Berbeda dengan mutawatir, penyampaian ijma’ secara ahad melibatkan jalur yang jumlah perawinya terbatas, sehingga tidak mencapai derajat mutawatir. Dalam ushul fikih, sejumlah ulama menyatakan bahwa penyampaian ijma’ melalui jalan ahad juga dapat diterima.

Pandangan Ulama

  1. Ulama yang mendukung: Pendapat ini dipegang oleh banyak ahli ushul seperti Al-Sarakhsi dan Abu Husain Al-Basri. Mereka menilai bahwa ijma’ tetap memiliki kekuatan hukum meskipun sampai kepada kita melalui jalur ahad.
  2. Dalil dan Analoginya:
    • Analogi dengan hadis ahad: Jika hadis Nabi ﷺ yang diriwayatkan melalui jalur ahad dianggap sah sebagai dalil hukum, maka ijma’ yang disampaikan secara ahad pun dapat diterima. Keduanya memiliki otoritas sebagai dalil syar’i.
    • Kekuatan ijma’ sebagai hujjah: Ijma’ adalah hujjah syar’i, sehingga tidak perlu diragukan kekuatan hukumnya, meskipun jalur penyampaiannya bukan mutawatir.

Keberatan dan Tanggapan

Sebagian ulama mungkin merasa bahwa penyampaian ijma’ melalui jalur ahad dapat menimbulkan keraguan terhadap validitasnya. Namun, pendukung pendapat ini menjelaskan:

  • Selama jalur penyampaiannya terpercaya dan tidak ada keterangan yang menyelisihi, ijma’ tersebut tetap sah dan wajib diikuti.

Pengangkatan dan penyampaian ijma’ dari generasi ke generasi dapat dilakukan baik melalui jalur mutawatir maupun jalur ahad. Jalur mutawatir memberikan kepastian yang lebih kuat karena melibatkan banyak perawi, tetapi jalur ahad juga sah selama memenuhi syarat keabsahan sanad. Kedua jalur ini menunjukkan bahwa ijma’ sebagai dalil syar’i tetap memiliki posisi penting dalam menetapkan hukum-hukum Islam di setiap zaman.