Kemungkinan dan Kenyataan Terjadinya Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid pada suatu masa atas suatu hukum syar’i. Dalam ushul fikih, pembahasan mengenai إمكانُ الإجماعِ ووُقوعُه kemungkinan terjadinya ijma’ (imkanul ijma’) dan realisasi kejadiannya (wuqu’ul ijma’) menjadi penting untuk menguatkan posisi ijma’ sebagai sumber hukum.

Sebagian pihak meragukan kemungkinan terjadinya ijma’ karena sulitnya mencapai kesepakatan dalam berbagai isu, namun banyak bukti sejarah menunjukkan bahwa ijma’ telah terjadi. Artikel ini akan mengelaborasi aspek kemungkinan dan kenyataan ijma’ berdasarkan pandangan para ulama.

A. Kemungkinan Terjadinya Ijma’

Ijma’ secara akal adalah mungkin dan dapat terjadi. Pandangan ini dianut oleh mayoritas ulama ushul fikih, seperti Al-Ghazali, As-Sam’ani, Al-Amidi, dan Al-Abiari. Mereka berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil, baik secara zat maupun sebab, dalam proses tercapainya ijma’.

Bukti rasional:

  1. Kesepakatan sebagai proses manusiawi:
    Kesepakatan para ulama mujtahid dalam suatu masa bukanlah hal yang mustahil. Para ulama yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari dalil syariat dapat saling bertukar pendapat hingga mencapai kesepakatan bersama.
  2. Tidak ada kontradiksi logis dalam ijma’:
    Ijma’ tidak mengandung unsur yang mustahil secara akal atau bertentangan dengan logika. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya ijma’ tetap terbuka.

Pendapat Ahmad bin Hanbal:
Ada pernyataan dari Imam Ahmad bin Hanbal yang seolah-olah menolak ijma’, seperti yang diriwayatkan oleh putranya, Abdullah. Imam Ahmad berkata, “Barang siapa yang mengklaim adanya ijma’, maka dia telah berbohong, karena mungkin saja ada yang berbeda pendapat, tetapi belum sampai kepada kita.”

Namun, pernyataan ini ditafsirkan sebagai bentuk kehati-hatian (wara’) dari Imam Ahmad, bukan penolakan terhadap ijma’. Sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi Abu Ya’la, Imam Ahmad tidak menolak ijma’ secara mutlak, tetapi mengingatkan akan kemungkinan adanya pendapat yang belum diketahui.

B. Kenyataan Terjadinya Ijma’ (Wuqu’ul Ijma’)

Ijma’ tidak hanya mungkin, tetapi juga telah terjadi dalam sejarah umat Islam. Berikut adalah bukti dan contoh nyata ijma’:

  1. Ijma’ dalam hal-hal pokok agama (ushul ad-din):
    • Kesepakatan seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia atas kenabian Muhammad ﷺ.
    • Kesepakatan tentang kewajiban salat lima waktu, puasa Ramadan, zakat, dan haji.
  2. Ijma’ di kalangan para sahabat:
    Para sahabat Nabi ﷺ sering kali mencapai kesepakatan dalam berbagai permasalahan syariat, terutama setelah wafatnya Nabi.

    • Metode Abu Bakar As-Shiddiq:
      Abu Bakar selalu merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah ﷺ dalam memutuskan perkara. Jika tidak ditemukan dalil, ia mengumpulkan sahabat untuk bermusyawarah hingga tercapai kesepakatan.

    Contoh nyata ijma’ di masa sahabat:

    • Penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah:
      Setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, seluruh sahabat sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah.
    • Kesepakatan memerangi kaum murtad:
      Pada awalnya, sebagian sahabat berbeda pendapat tentang memerangi kaum yang enggan membayar zakat. Namun, setelah mendengar argumentasi Abu Bakar, mereka sepakat untuk memerangi kaum tersebut.

Ijma’ adalah fenomena yang secara akal dan sejarah terbukti mungkin dan telah terjadi. Ijma’ memberikan landasan hukum yang kuat dan mempersatukan umat Islam dalam perkara syariat. Bukti-bukti nyata dari kesepakatan para sahabat hingga umat Islam dalam hal pokok agama menunjukkan bahwa ijma’ bukan sekadar konsep teoretis, melainkan realitas yang memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan syariat. Oleh karena itu, kajian tentang imkan dan wuqu’ul ijma’ menegaskan posisi ijma’ sebagai salah satu pilar hukum Islam.