Pengetahuan tentang Ijma’ العِلمُ بالإجماعِ

Dalam ilmu ushul fiqh, ijma’ atau konsensus ulama merupakan salah satu dalil syar’i yang disepakati oleh mayoritas umat Islam. Namun, timbul pertanyaan: apakah mengetahui terjadinya ijma’ itu mungkin? Bagaimana cara mengetahui ijma’ dalam konteks praktik? Artikel ini akan membahas konsep, metode, dan realitas dari pengetahuan tentang ijma’ dengan pendekatan yang mudah dipahami.

Konsep Kemungkinan Pengetahuan tentang Ijma’

Mengetahui adanya ijma’ adalah sesuatu yang mungkin secara logis (mutaṣawwar). Hal ini bisa diperoleh melalui dua cara utama:

  1. Pengetahuan Mutawatir
    Ijma’ yang diketahui secara mutawatir adalah ijma’ yang dilaporkan oleh banyak pihak yang mustahil bersepakat untuk berdusta. Contohnya adalah ijma’ para sahabat dalam hal pokok-pokok agama, seperti kewajiban shalat lima waktu. Dalam kasus ini, laporan-laporan mutawatir dari berbagai daerah menjadi dasar yang kuat untuk mengetahui adanya ijma’.
  2. Pengetahuan Individual melalui Perantara (Ahad)
    Ijma’ juga bisa diketahui melalui individu-individu yang mendengar langsung pandangan ulama di masanya dan menyampaikan informasi tersebut. Hal ini melibatkan proses komunikasi, baik melalui dialog langsung dengan sebagian ulama atau laporan yang akurat tentang pendapat ulama lainnya.

Pengetahuan tentang ijma’ semakin memungkinkan karena tradisi keilmuan Islam yang kuat dalam mendokumentasikan pendapat para ulama. Dalam konteks ini, sulit dibayangkan ada seorang mujtahid yang pendapatnya tidak diketahui oleh ulama di sekitarnya, apalagi di masa keemasan Islam ketika para ulama saling terhubung melalui korespondensi dan kunjungan ilmiah.

Bukti Realitas Pengetahuan tentang Ijma’

Pengetahuan tentang ijma’ tidak hanya sekadar kemungkinan teoritis, tetapi juga fakta yang telah terjadi dalam sejarah Islam. Berikut adalah beberapa contohnya:

  1. Ijma’ Sahabat
    Banyak ijma’ yang terjadi di kalangan sahabat Nabi SAW telah diketahui dan disepakati oleh generasi setelahnya. Contoh yang terkenal adalah ijma’ tentang keharusan membukukan Al-Qur’an di masa Khalifah Abu Bakar RA. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa ijma’ bisa diketahui dan dirujuk oleh generasi berikutnya.
  2. Ijma’ Mazhab
    Dalam lingkup mazhab, terdapat konsensus terhadap banyak hukum yang dikenal luas oleh para pengikutnya. Sebagai contoh:

    • Mazhab Syafi’i bersepakat bahwa pernikahan tanpa wali adalah tidak sah.
    • Mazhab Hanafi bersepakat bahwa seorang Muslim tidak dapat dibunuh sebagai qisas atas pembunuhan seorang non-Muslim.

Kesepakatan-kesepakatan ini telah menjadi bagian dari identitas mazhab yang diketahui bahkan oleh masyarakat awam.

  1. Kesepakatan di Luar Syariat
    Bahkan dalam sejarah umat manusia, kita dapat mengetahui konsensus tertentu, seperti penolakan bangsa-bangsa terdahulu terhadap risalah Nabi Muhammad SAW. Jika konsensus ini bisa diketahui meski dalam perkara yang keliru, maka lebih mungkin lagi untuk mengetahui ijma’ para ulama dalam perkara yang benar, terutama karena syariat Islam mendorong pengungkapan ilmu dan melarang penyembunyian kebenaran.

Dalil atas Kemungkinan Mengetahui Ijma’

Alasan utama yang menunjukkan kemungkinan mengetahui ijma’ adalah kewajiban para ulama untuk menyampaikan ilmu. Allah SWT berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkannya kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.’” (QS Ali Imran: 187)

Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam, terutama para ulama, berkewajiban untuk menyebarkan ilmu, termasuk keputusan-keputusan ijma’. Tradisi ini telah berlangsung selama berabad-abad, sebagaimana terbukti dari dokumentasi fikih dan ushul fikih yang kaya akan informasi tentang kesepakatan ulama.

Kesimpulan

Pengetahuan tentang ijma’ adalah sesuatu yang mungkin dan telah terbukti terjadi. Melalui laporan mutawatir, dokumentasi ilmiah, dan interaksi antarulama, ijma’ dapat diketahui secara pasti. Dengan memahami metode dan contoh realitas pengetahuan tentang ijma’, kita dapat melihat bahwa dalil ini memiliki dasar yang kokoh dalam tradisi Islam, baik secara teoritis maupun praktis.