Ijma (kesepakatan para ulama) merupakan salah satu sumber hukum Islam yang diakui dalam disiplin ilmu ushul fikih. Dalam sistem hukum Islam, ijma memiliki posisi penting sebagai bukti syar’i setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ulama sepakat bahwa ijma adalah hujjah (argumen) yang sah, meskipun terdapat sebagian kecil kelompok yang menolaknya, seperti An-Nazzam dari Mu’tazilah, sebagian Syiah, dan beberapa kelompok Khawarij.
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan hujjah ijma secara sederhana dan mudah dipahami, dengan menguraikan dasar-dasarnya dari Al-Qur’an, Sunnah, dan logika (akal), serta memberikan respons terhadap pihak yang meragukan keabsahan ijma.
Pengertian Ijma
Ijma adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Islam dalam suatu masa tertentu terhadap suatu hukum syar’i setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Kesepakatan ini menjadi bukti kebenaran suatu hukum karena umat Islam, khususnya para ulama, dianggap terjaga dari kesepakatan dalam kesalahan.
Dalil-Dalil Hujjah Ijma
1. Dalil dari Al-Qur’an
Al-Qur’an memberikan landasan bagi konsep ijma melalui sejumlah ayat yang mengisyaratkan pentingnya persatuan dalam kebenaran dan larangan menyimpang dari jalan mayoritas kaum mukminin.
a. Surah Al-Baqarah: 143
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan…”
- Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam disebut sebagai “umat yang adil” (ummatan wasathan), yang artinya adalah umat yang memiliki sifat pilihan dan terpercaya dalam menyampaikan kebenaran. Jika umat ini sepakat terhadap suatu hukum, maka kesepakatan tersebut adalah hujjah yang dapat dipegang.
b. Surah An-Nisa: 115
“Dan barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang dipilihnya…”
- Ayat ini menegaskan bahwa mengikuti jalan kaum mukminin (sebagaimana diwujudkan dalam ijma) adalah wajib. Jika menyelisihi jalan mereka saja mendapat ancaman, maka ijma mereka tentu merupakan kebenaran yang harus diikuti.
c. Surah Ali Imran: 103
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…”
- Perintah untuk bersatu dalam agama Allah menunjukkan bahwa kesepakatan umat merupakan sesuatu yang diinginkan syariat. Dengan demikian, ijma menjadi bagian dari upaya menjaga persatuan tersebut.
2. Dalil dari Sunnah
a. Hadis Nabi ﷺ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan.”
- Hadis ini menjadi dasar utama yang menunjukkan bahwa umat Islam, terutama para ulama, tidak akan sepakat dalam kebatilan. Oleh karena itu, ijma dianggap hujjah dalam penetapan hukum syar’i.
b. Hadis lainnya:
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran hingga datangnya kiamat.”
- Hadis ini menunjukkan bahwa akan selalu ada sekelompok orang dari umat Islam yang menjaga kebenaran. Hal ini memperkuat kepercayaan bahwa kesepakatan ulama pada suatu masa mencerminkan kebenaran syariat.
3. Dalil dari Akal
a. Keterjagaan Syariat
Setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, wahyu tidak lagi turun. Namun, syariat Islam harus tetap terjaga hingga akhir zaman. Allah menjaga syariat ini melalui para ulama yang bersepakat dalam kebenaran. Jika ijma tidak diakui, maka tidak ada mekanisme untuk memastikan kesinambungan dan keotentikan hukum Islam.
b. Mustahil Sepakat dalam Kesalahan
Kesepakatan para mujtahid yang memiliki tingkat keilmuan tinggi, latar belakang beragam, dan pemahaman mendalam tentang agama, dianggap mustahil terjadi tanpa landasan yang benar. Akal sehat menolak kemungkinan bahwa para ulama bisa sepakat dalam kebatilan atau kesalahan.
Pandangan Ulama tentang Hujjah Ijma
Mayoritas ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa ijma adalah dalil syar’i yang bersifat qath’i (pasti). Imam Syafi’i adalah salah satu ulama yang pertama kali memberikan argumentasi kuat tentang keabsahan ijma. Beliau mengatakan bahwa ijma umat Islam, khususnya para ulama, merupakan penjaga hukum syar’i yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Respon terhadap Penolakan Ijma
Kelompok yang menolak ijma, seperti An-Nazzam dari Mu’tazilah, berpendapat bahwa ijma tidak memiliki dasar yang jelas. Namun, penolakan ini tidak berdasar karena:
- Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah jelas menunjukkan kewajiban mengikuti kesepakatan umat.
- Secara logika, syariat tidak mungkin terjaga tanpa mekanisme yang memastikan kebenaran hukum setelah Nabi ﷺ wafat.
Ijma adalah salah satu sumber hukum Islam yang memiliki dasar kuat dari Al-Qur’an, Sunnah, dan logika. Kesepakatan para ulama dalam suatu masa mencerminkan keterjagaan syariat Islam dari kesalahan. Oleh karena itu, ijma wajib diakui sebagai hujjah yang sah dan menjadi panduan bagi umat Islam dalam memahami dan menjalankan syariat.
Dengan memahami hujjah ijma secara sederhana, diharapkan umat Islam dapat lebih mudah menerima pentingnya persatuan dalam agama dan nilai-nilai yang diwariskan oleh ulama.