Yusril – Isu mengenai kemungkinan normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel kembali mencuat ke publik, kali ini dikaitkan dengan proses keanggotaan Indonesia dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Namun, tokoh hukum dan politik nasional, Yusril Ihza Mahendra, secara tegas membantah adanya syarat atau perundingan yang mengharuskan Indonesia melakukan normalisasi hubungan dengan Israel demi dapat diterima sebagai anggota OECD. Pernyataan Yusril ini menegaskan kembali sikap konsisten Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina.

Proses Keanggotaan Indonesia dalam OECD
OECD: Organisasi Internasional Bertaraf Global
OECD adalah organisasi internasional yang terdiri dari 38 negara anggota, sebagian besar adalah negara-negara maju. Tujuannya adalah untuk mendorong kebijakan ekonomi dan sosial yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia. Keanggotaan dalam OECD dianggap bergengsi dan menjadi indikator bahwa suatu negara telah memenuhi standar tertentu dalam tata kelola pemerintahan, transparansi, investasi, dan pembangunan berkelanjutan.
Indonesia resmi mengajukan diri sebagai calon anggota OECD pada tahun 2023. Langkah ini dipandang sebagai upaya strategis untuk meningkatkan daya saing ekonomi, memperkuat reformasi kebijakan, serta mendapatkan akses lebih luas dalam forum internasional yang menentukan arah kebijakan ekonomi global.
Perjalanan Indonesia Menuju OECD
Dalam prosesnya, Indonesia telah menjalani berbagai tahap evaluasi dan konsultasi. Salah satu langkah penting adalah peluncuran accession roadmap, peta jalan keanggotaan yang menetapkan bidang-bidang reformasi yang harus dilakukan Indonesia untuk memenuhi standar OECD.
Beberapa isu utama yang dibahas meliputi transparansi fiskal, anti-korupsi, kebijakan investasi, ketenagakerjaan, pendidikan, serta perlindungan lingkungan. Namun, tidak ada indikasi bahwa hubungan diplomatik dengan Israel menjadi salah satu prasyarat dalam roadmap tersebut.

Isu Normalisasi Hubungan Indonesia-Israel
Isu yang Terus Berulang
Seiring dengan proses keanggotaan OECD, beredar kabar bahwa Indonesia diminta untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel sebagai salah satu syarat. Kabar ini pun mendapat perhatian publik luas, mengingat posisi Indonesia selama ini yang sangat konsisten dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina dan belum menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Israel.
Narasi tersebut diperkuat dengan spekulasi di berbagai media dan platform media sosial, yang menyebut adanya tekanan dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, agar Indonesia mengambil langkah tersebut sebagai bagian dari konsesi geopolitik dalam rangka mempercepat proses masuk ke OECD.
Yusril: Tidak Ada Perundingan atau Tekanan
Menanggapi isu tersebut, Yusril Ihza Mahendra, yang dikenal sebagai pakar hukum tata negara dan tokoh senior dalam politik Indonesia, menyampaikan bantahan tegas. Menurutnya, tidak ada pembahasan, apalagi perundingan resmi, mengenai normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel sebagai bagian dari syarat masuk OECD.
Yusril menyatakan bahwa proses masuk OECD sepenuhnya bersifat teknokratik, berfokus pada penilaian terhadap kesiapan institusional, reformasi kebijakan, dan kesesuaian dengan prinsip-prinsip OECD, bukan pada isu-isu politik luar negeri yang sensitif.

Sikap Indonesia Terhadap Palestina
Komitmen Konstitusional
Sikap Indonesia yang tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel bukanlah semata keputusan politik pragmatis, melainkan bagian dari amanat konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, dan oleh karena itu, Indonesia menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia.
Dalam konteks ini, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina telah menjadi bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia yang konsisten selama lebih dari tujuh dekade. Pemerintah Indonesia, dari masa ke masa, senantiasa menyerukan penyelesaian damai berdasarkan solusi dua negara (two-state solution) dan penghentian pendudukan Israel atas wilayah Palestina.
Diplomasi yang Tegas namun Humanis
Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik, Indonesia tetap menjalankan diplomasi kemanusiaan. Indonesia aktif memberikan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina, serta mendukung upaya di berbagai forum internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menyuarakan hak-hak rakyat Palestina.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menegaskan bahwa posisi Indonesia tidak berubah, dan tidak ada rencana untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel selama tidak ada kemajuan signifikan dalam penyelesaian konflik dan pemenuhan hak-hak rakyat Palestina.
Analisis Publik dan Dampak Isu
Sensitivitas Publik Terhadap Isu Palestina
Masyarakat Indonesia dikenal sangat sensitif terhadap isu Palestina. Dukungan terhadap Palestina bukan hanya berasal dari kalangan pemerintahan, tetapi juga masyarakat sipil, ormas, hingga individu-individu yang aktif dalam aksi solidaritas kemanusiaan. Maka tidak mengherankan apabila setiap isu yang menyangkut kemungkinan hubungan dengan Israel selalu memicu reaksi luas dan emosional.
Isu ini juga sering dimanfaatkan dalam dinamika politik dalam negeri, terutama menjelang pemilu atau dalam situasi politik yang memanas, untuk menggiring opini publik terhadap figur atau kelompok tertentu.
Klarifikasi yang Perlu Dilakukan Pemerintah
Dalam situasi seperti ini, transparansi dan komunikasi publik yang jelas dari pemerintah menjadi sangat penting. Klarifikasi dari tokoh seperti Yusril merupakan langkah positif, tetapi akan lebih baik jika pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dan juru bicara resmi memberikan penjelasan terbuka terkait posisi Indonesia dalam proses OECD dan memastikan bahwa tidak ada kompromi terhadap prinsip politik luar negeri bebas aktif yang berpihak pada kemanusiaan.
Penutup: Tetap Teguh pada Prinsip
Masuknya Indonesia ke OECD memang merupakan langkah besar dalam perjalanan diplomasi dan reformasi kebijakan ekonomi nasional. Namun demikian, langkah ini tidak semestinya — dan tidak seharusnya — mengorbankan prinsip-prinsip fundamental yang telah menjadi jati diri bangsa, salah satunya adalah komitmen terhadap kemerdekaan Palestina.
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra memberikan penegasan yang penting bahwa proses keanggotaan OECD tetap berada dalam koridor profesional dan teknis, tanpa tekanan politik terkait normalisasi hubungan dengan Israel. Hal ini sejalan dengan harapan publik Indonesia yang menginginkan negara tetap memegang teguh konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Pemerintah Indonesia diharapkan terus menjaga posisi ini, sembari mengupayakan reformasi yang dibutuhkan untuk bergabung dengan OECD, serta terus memperkuat diplomasi untuk kemerdekaan Palestina di forum internasional. Indonesia dapat membuktikan bahwa menjadi negara maju dan berpengaruh di dunia tidak harus mengorbankan prinsip moral dan solidaritas terhadap bangsa tertindas.