Syarat Ketiga: Tidak Boleh Memiliki Bid‘ah yang Mengkafirkan

Setelah sebelumnya sifat adil menjadi syarat para peserta ijma’, sekarang masuk pada bagian lanjutannya, yaitu para ulama ushul sepakat bahwa seorang mujtahid yang terlibat dalam ijma’ tidak boleh memiliki bid‘ah yang mengkafirkan من شُروطِ المُجمِعينَ ألَّا يَكونُوا أصحابَ بِدعةٍ مُكَفِّرةٍ.

Jika mujtahid tersebut memiliki keyakinan bid‘ah semacam itu, maka pendapatnya, baik dalam bentuk persetujuan maupun penolakan, tidak diakui dalam ijma’. Pendapat ini diriwayatkan oleh para ulama seperti Al-Amidi, Az-Zarkasyi, dan Syamsuddin Al-Ashfahani. Contoh kelompok dengan bid‘ah yang mengkafirkan adalah golongan ekstrem Rafidhah yang meyakini bahwa Jibril ‘alaihis salam salah dalam menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Perbedaan Pendapat tentang Bid‘ah yang Tidak Mengkafirkan

Terdapat perbedaan pandangan mengenai apakah pendapat seorang mujtahid dengan bid‘ah yang tidak mengkafirkan tetap dianggap dalam ijma’ atau tidak.

  • Pendapat yang Lebih Kuat
    Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang tidak mengakui pendapat mereka dalam ijma’. Pendapat ini dipilih oleh para ulama seperti Al-Jashshash, Qadhi Abu Ya‘la, As-Samarqandi, dan Ibn As-Sa‘ati.
  • Pendapat yang Berbeda
    Beberapa ulama seperti Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali berpendapat bahwa pendapat seorang mujtahid dengan bid‘ah yang tidak mengkafirkan tetap diakui dalam ijma’.

Dalil Pendapat yang Tidak Mengakui Pendapat Ahli Bid‘ah

  1. Ijma’ sebagai Kemuliaan Umat Islam
    Ijma’ merupakan salah satu bentuk kemuliaan umat Islam, termasuk para mujtahid yang terlibat di dalamnya. Karena itu, pendapat seorang ahli bid‘ah yang tidak layak mendapatkan kemuliaan tersebut tidak dapat diterima, sehingga ia dianggap setara dengan orang kafir dalam konteks ini.
  2. Tidak Layak Memberikan Fatwa
    Ahli bid‘ah yang dikenal tidak jujur atau sering menyimpang tidak layak dijadikan rujukan dalam fatwa. Allah berfirman:

    “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepada kalian membawa berita, maka periksalah dengan teliti.”
    (QS. Al-Hujurat: 6)
    Hal ini menunjukkan bahwa pendapat mereka perlu diragukan karena kemungkinan besar mereka akan mengutamakan keyakinan bid‘ahnya di atas kebenaran.

  3. Ijma’ Berdasarkan Kelayakan Kesaksian dan Amar Ma‘ruf Nahi Munkar
    Ijma’ memiliki landasan pada kelayakan seorang mujtahid untuk menjadi saksi, sebagaimana firman Allah:

    “Dan demikianlah Kami menjadikan kalian sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas manusia.”
    (QS. Al-Baqarah: 143)

    Selain itu, amar ma‘ruf nahi munkar juga menjadi landasan ijma’, sebagaimana firman Allah:

    “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar.”
    (QS. Ali Imran: 110)

    Dalam hal ini, ahli bid‘ah yang tidak memenuhi syarat keadilan dan kelayakan tidak dapat diakui sebagai pelaku amar ma‘ruf nahi munkar yang benar.

Pendapat yang Mengakui Pendapat Ahli Bid‘ah

Sebagian ulama yang mendukung pengakuan terhadap pendapat ahli bid‘ah yang tidak mengkafirkan berargumen bahwa selama bid‘ah tersebut tidak menyentuh pokok keimanan, pendapat mereka tetap bisa dipertimbangkan dalam ijma’.