Syarat Kedua: Mujmi’iin (Orang-Orang yang Berijma’) Harus Bersifat ‘Adil

Para ulama ushul menyepakati bahwa salah satu syarat untuk mujmi’iin yang terlibat dalam ijma’ adalah memiliki sifat ‘adil. Hal ini menjadi lanjutan dari syarat pertama Ijma’ yang telah dibahas sebelumnya.

‘Adalah atau keadilan menjadi hal penting. Jika seorang anggota ijma’ diketahui fasik (melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil), maka para ulama ushul berbeda pendapat mengenai keabsahan pendapatnya dalam ijma’. Pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa pendapat orang yang fasik tidak dianggap dalam ijma’, sebagaimana dipegang oleh al-Jashshash, as-Sam’ani, as-Samarqandi, dan sejumlah ulama ushul lainnya.

Alasan Pendapat Mayoritas:

  1. Ijma’ Berdasarkan Kesaksian yang Sah
    Ijma’ dianggap mengikat karena anggota yang terlibat layak untuk memberikan kesaksian, sebagaimana firman Allah:
    “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
    Selain itu, ijma’ juga berkaitan dengan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar, sebagaimana firman Allah:
    “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110)
    Dalam hal ini, hanya orang yang memiliki sifat ‘adil yang berhak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab orang fasik tidak dapat diikuti dalam perintah maupun larangannya.
  2. Kedudukan Orang Fasik dalam Fatwa dan Kesaksian
    Seorang fasik tidak dipercaya dalam kesaksian maupun fatwanya, baik ia sependapat atau berbeda pendapat. Jika kesaksiannya tidak diterima, maka pendapatnya dalam ijma’ juga tidak dapat diakui.
  3. Ijma’ Sebagai Kehormatan Umat Islam
    Ijma’ adalah salah satu bentuk kehormatan bagi umat Islam. Orang fasik, karena sifatnya, tidak termasuk dalam kelompok yang memperoleh kehormatan ini.
  4. Dalil dari Al-Qur’an Mengenai Sifat Orang Fasik
    Al-Qur’an mengajarkan untuk tidak menerima berita dari orang fasik tanpa verifikasi, sebagaimana firman Allah:
    “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurat: 6)
    Ayat ini menunjukkan bahwa kewaspadaan terhadap orang fasik bertentangan dengan kewajiban mengikuti mereka, sehingga pendapat mereka tidak dapat dijadikan bagian dari ijma’.

Pendapat Minoritas:
Sebagian ulama, seperti Imam al-Haramain, al-Ghazali, dan al-Amidi, berpendapat bahwa pendapat anggota ijma’ yang fasik tetap dianggap. Menurut mereka, status kefasikan seseorang tidak serta-merta membatalkan keabsahan pandangannya sebagai anggota ijma’.


Pendapat mayoritas ulama ushul menyatakan bahwa pendapat mujmi’iin yang fasik tidak diakui dalam ijma’, karena sifat kefasikan mereka yang menghilangkan kepercayaan dan keabsahan kesaksian serta pendapatnya.

Lanjut ke من شُروطِ المُجمِعينَ ألَّا يَكونُوا أصحابَ بِدعةٍ مُكَفِّرةٍ