Ijma’, yang didefinisikan sebagai kesepakatan para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum syariat pada suatu masa, memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Namun, keabsahan ijma’ tidak hanya bergantung pada kesepakatan semata, melainkan juga pada terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Artikel ini berfokus pada salah satu syarat penting, yaitu من شُروطِ المُجمِعينَ أن يَكونُوا مِن أهلِ الاجتِهادِ kemampuan ijtihad para peserta ijma’. Kami juga membahas dampak keterlibatan non-mujtahid dan non-Muslim terhadap validitas ijma’.
Ijma’ merupakan salah satu sumber hukum Islam yang telah diakui kekuatannya oleh mayoritas ulama. Namun, penentuan keabsahan ijma’ tidaklah sederhana. Dalam ushul fikih, para ulama telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam ijma’. Salah satu syarat utama adalah bahwa individu tersebut harus merupakan ahli ijtihad (mujtahid).
Syarat-Syarat Menjadi Mujtahid dalam Ijma’
Menurut para ulama ushul, seorang yang terlibat dalam ijma harus memenuhi beberapa kriteria berikut:
- Islam
Peserta ijma’ harus beragama Islam, karena ijma’ merupakan bagian dari kehormatan dan keistimewaan yang diberikan kepada umat Islam. - Akal dan Baligh
Peserta ijma’ harus memiliki akal yang sehat dan telah mencapai usia dewasa (baligh), sehingga dapat bertanggung jawab atas pendapatnya. - Kemampuan Ilmu
Peserta ijma’ harus memiliki penguasaan ilmu yang memadai, meliputi:- Bahasa Arab: Untuk memahami teks-teks syariat secara langsung tanpa bergantung pada terjemahan.
- Al-Qur’an dan Hadis: Pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum.
- Kaidah-Kaidah Istinbat: Pengetahuan tentang metode pengambilan hukum (istinbat) untuk menghasilkan hukum yang tepat.
- Pengetahuan tentang Ijma’-Ijma’ Sebelumnya: Agar tidak terjadi kontradiksi dengan ijma’ yang telah disepakati sebelumnya.
1. Apakah Persetujuan Orang Awam Diperhitungkan?
Mayoritas ulama menyepakati bahwa kesepakatan orang awam tidak memiliki pengaruh dalam ijma’. Hal ini karena:
- Orang awam tidak memahami metode ijtihad, sehingga tidak dapat terlibat dalam proses hukum.
- Kesepakatan orang awam dianggap tidak relevan karena mereka diwajibkan mengikuti ulama, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).
Namun, ada sebagian ulama, seperti Al-Baqillani, yang berpendapat bahwa ijma’ harus mencakup seluruh umat Islam, termasuk orang awam. Pendapat ini, meskipun minoritas, memberikan sudut pandang yang menarik tentang konsep partisipasi umat.
2. Apakah Pendapat Non-Muslim Dipertimbangkan?
Secara ijma’, pendapat non-Muslim tidak diperhitungkan dalam ijma’, meskipun mereka memiliki kemampuan ijtihad. Beberapa alasan utama adalah:
- Ijma’ adalah kehormatan khusus bagi umat Islam, seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
“Dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa: 115). - Non-Muslim tidak termasuk dalam cakupan ayat-ayat yang menunjukkan keistimewaan umat Islam.
Ijma’ sebagai sumber hukum Islam hanya sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah keterlibatan ahli ijtihad yang memenuhi kriteria. Ketidakterpenuhan syarat ini, seperti keterlibatan orang awam atau non-Muslim, dapat mempengaruhi keabsahan ijma’.
Pemahaman mendalam tentang syarat-syarat ijma’ ini tidak hanya relevan dalam teori hukum Islam tetapi juga dalam praktik pengambilan keputusan kolektif yang berbasis syariat. Jika di atas adalah syarat pertama, syarat Kedua dari ijma’ yaitu Mujtami’iin Harus Bersifat ‘Adil. من شُروطِ المُجمِعينَ أن يَكونُوا عُدُولًا
Referensi
- Al-Ghazali, Al-Mustashfa.
- Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
- Ibn Qudamah, Rawdat al-Nazir.